Senin, 16 Januari 2017

Konflik Timor Leste

TIMOR LESTE

            Indonesia merupakan Negara yang mempunyai ratusan bahkan ribuan pulau, banyaknya pulau yang dimiliki oleh Indonesia dapat dijadikan sebagai aset Negara dalam segi pariwisata dimana dapat mendatangkan banyak wisatawan lokal maupun wisatawan asing untuk dapat menikmati keindahan alamnya. Karena hal itulah Indonesia sebaiknya menjaga dengan baik pulau yang dimilikinya agar tak di klaim oleh Negara tetangga, mengingat pentingnya urusan dalam menjaga aset ini membuat pemerintah mengeluarkan peraturan perbatasan yang dapat melindungi pulau-pulau Indonesia sekalipun pulau yang terjauh dari daerah perbatasan luar Indonesia.

            Peraturan tentang wilayah perbatasan tersebut telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945, BAB IXA, pasal 25A tentang wilayah Negara : “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Wilayah negara adalah tempat tinggal, tempat hidup dan sumber kehidupan warga negara yang meliputi daratan lautan dan ruang udara, dimana suatu negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah negaranya. Bentuk wilayah negara Indonesia berdasarkan teorinya termasuk devided or separated, yaitu negara yang terpisah oleh wilayah laut atau sepotong oleh negara lain.

            Wilayah daratan adalah bagian dari wilayah negara dimana rakyat atau penduduk negara itu bermukim secara permanen. Demikian pula diwilayah daratan itu pula pemerintahan negara melaksanakan dan mengendalikan segala kegiatan pemerintahannya. Pada umumnya garis batas wilayah daratan ditetapkan berdasarkan perjanjian-perjanjian garis batas wilayah antara negara-negara yang berbatasan. Ada pula garis batas wilayah antara dua negara berupa sungai yang mengalir di perbatasan wilayah negara-negara yang bersangkutan. Atau dapat pula garis batas wilayah pada sungai tersebut ditetapkan pada bagian-bagian terdalam dari aliran sungai, yang disebut thalweng.

            Termasuk pula dalam ruang lingkup wilayah daratan tanah dibawah daratan tersebut. Mengenai batas kedalaman dari tanah dibawah wilayah daratan yang merupakan bagian wilayah negara, tidak atau belum terdapat pengaturannya dalam hukum international positif. Oleh karena dapatlah dikatakan, bahwa kedaulatan negara atas tanah dibawah wilayah daratannya sampai pada kedalaman yang tak terbatas. Kedaulatan negara tersebut meliputi pula sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Namun dengan adanya peraturan tentang wilayah perbatasan ini tidak menutup kemungkinan akan tidak terjadinya konflik antara daerah perbatasan, seperti yang terjadi di daerah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste.

            Pada pertengahan Oktober 2013, konflik antarwarga di perbatasan Indonesia-Timor Leste kembali terjadi. Warga kedua negara saling serang dengan melempar batu dan kayu di perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara (Indonesia) dengan Distrik Oecussi (Timor Leste). Konflik ini menimbulkan ketegangan hubungan antarwarga hingga berhari-hari berikutnya. Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi, karena pada akhir Juli 2012 konflik serupa juga terjadi di kabupaten yang sama, tetapi melibatkan warga dari desa yang berbeda. Kasus konflik komunal di perbartasan Indonesia-Timor Leste menarik, karena jenis konflik tersebut hampir tidak terjadi di wilayah perbatasan darat Indonesia lainnya. Biasannya masalah yang muncul di wilayah perbatasan darat tersebut berupa belum disepakatinya demilitasi dan demarkasi batas serta maraknya aktivitas lintas batas ilegal, dan bisa dikatakan jarang terjadi kasus kekerasan antarwarga. Oleh karena itu, analisis terhadap konflik komunal di perbatasan Indonesia-Timor Leste tersebut penting untuk dilakukan, agar Indonesia dapat membuat langkah antisipasi sehingga kejadian serupa tidak terjadi di masa depan.

            Kronologi Konflik
Pada Oktober 2013, Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara, jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500m dan juga menggunakan zona bebas sejauh 50m. padahal berdasarkan nota kesepahaman kedua negara pada tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia maupun Timor Leste. Selain itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang pilar perbatasan, merusak pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan milik Indonesia, serta merusak Sembilan kuburan orang-orang tua warga Nelu, Kecampatan Naibenu, Kebupaten Timor Tengah Utara. Pembangunan jalan baru tersebut kemudian memicu terjadinya konflik antara warga Nelu, Indonesia dengan warga Leolbatan, Timor Leste pada senin, 14 Oktober 2013. Mereka saling lempar batu dan kayu. Aksi ini semakin besar karena melibatkan anggota polisi perbatasan Timor Leste (Cipol) yang turut serta dalam aksi saling lempar batu dan kayu tersebut. Dari aksi tersebut, enam warga Leolbatan dan satu anggota Cipol menderita luka parah, sementara dari sisi Indonesia hanya ada satu warga Nelu yang luka ringan. Setelah terjadinya aksi saling serang beberapa orang terlihat masih berjaga-jaga di perbatasan masing-masing. Eskalasi konflik semakin meningkat setelah terjadi insiden penggiringan 19 ekor sapi milik warga Indonesia yang diduga digiring oleh warga Timor Leste masuk ke wilayah mereka. Selanjutnya, 10 warga Indonesia di dampingi enam anggota TNI masuk ke wilayah Timor Leste untuk mencari 19 ekor sapi tersebut. Semenara itu ratusan warga lainnya dari empat desa di Kecamatan Nailbenu berjaga-jaga di perbatasan dan siap perang melawan warga Leolbatan, Desa Kosta, Kecamatan Kota, Distrik Oekussi, Timor Leste.

            Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia-Timor leste. Satu tahun sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan Timor Tengah Utara-Oecussi. Pada 31 Juli 2012, warga desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, terlibat bentrok dengan warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste. Bentrok ini dipicu oleh pembangunan kantor Pelayanan Bea Cukai, imigrasi, dan Karantina (CIQ) Timor Leste di zona netral yang masih disengketakan, bahkan dituduh telah melewati batas dan masuk ke wilayah Indonesia sejauh 20m. tanaman dan pepohonan di tanah tersebut dibabat habis oleh pihak Timor Leste. Setelah terlibat aksi saling ejek, warga dari kedua negara kemudian saling lempar batu dan benda tajam sebelum akhirnya dilerai oleh aparat TNI perbatasan dan tentara Timor Leste.

            Faktor Penyebab Konflik
Masih belum tuntasnya delimitasi perbatasan antara kedua negara. Berdasarkan nota kesepahaman antara kedua negara pada tahun 2005, masih terdapat 4% perbatasan darat yang masih belum disepakati. Menurut Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), kedua negara masih mempersengketakan tiga segmen batas yaitu:
1.      Segmen di Noelbesi Citrana, Desa Netemnanu Utara, Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, dengan Distrik Oecussi, Timor Leste, menyangkut areal persawahan sepanjang Sungai Noelbesi yang status tanahnya masih sebagai zona netral.
2.      Segmen di Bijaelsunan, Oben, di Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Distrik Oecussi, yaitu pada areal seluas 489 bidang tanah sepanjang 2,6 km atau 142,7 ha. Tanah tersebut merupakan tanah yang disterilkan agar tidak menimbulkan masalah karena Indonesia-Timor Leste mengklaim sebagai miliknya.

3.      Segmen di Delomil Memo, Kabupaten Belu yang berbatasan dengan Distrik Bobonaro, yaitu perbedaan identifikasi terhadap Median Mota Malibaca pada aliran sungai sepanjang 2,2 km atau pada areal seluas 41,9 ha.

Terjadinya perbedaan interpretasi mengenai zona netral yang terdapat di perbatasan kedua negara. Dari sudut pandang Indonesia, pemerintah dan warganya menganggap bahwa zona netral adalah zona yang masih belum ditetapkan statusnya sebagai milik negara Indonesia atau Timor Leste, sehingga harus dikosongkan dari segala aktivitas warga. Sementara dari sudut pandang Timor Leste, zona itu sebenarnya adalah wilayah Timor Leste yang digunakan oleh PBB sebagai kawasan koordinasi keamanan antara TNI dan PBB, sebagai tempat fasilitas pembangunan pasar bagi warga perbatasan, dan sebagai tempat rekonsiliasi antara masyarakat eks Timti dengan masyarakat Pasabe, Distrik Oecussi. Dengan demikian, setelah PBB meninggalkan Timor Leste, seharusnya zona netral tersebut tetap menjadi bagian wilayah kedaulatan Timor Leste.
Terkait dengan aspek sosial budaya, yaitu masih terdapat sentiment negative antarwarga Indonesia dengan warga Timor Leste. Sebenarnya, masyarakat Timor Tengah Utara dan Oecussi di perbatasan berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu sama-sama orang Timor, baik itu suku tetun, Marae, Kemak dan Dawan. Hubungan kekerabatan pun sudah lama terjalin, apalagi Timor Leste pernah menjadi bagian dari Indonesia sejak tahun 1975 hingga 1999. Namun, pasca pemisahan Timor Timur sebagai hasil referendum, sentiment negative tersebut menguat. Di satu sisi, warga Timor Leste, terutama yang pada referendum menjadi bagian kelompok prokemerdekaan, melihat Indonesia sebagai negara yang telah menjajah mereka selama hampir 25 tahun. Di sisi lain, warga Indonesia melihat warga Timor Leste sebagai orang-orang yang tidak berterima kasih, apalagi banyak anggota kelompok prointegrasi yang memilih mengungsi ke wilayah Indonesia pasca referendum. Sentiment negative ini semakin menguat ketika masyarakat kedua negara sama-sama dalam kondisi miskin dan mereka terlibat perebutan sumberdaya seperti lahan, kebun dan sapi.

Upaya Penyelesaian
Indonesia sudah melakukan berbagai tindakan untuk menyelesaikan permasalahan ini, baik tindakan yang bersifat jengka pendek maupun tindakan yang bersifat jangka panjang. Pada penyelesaian yang bersifat jangka pendek, untuk konflik yang terjadi tahun 2012, aparat TNI dari 161 Wirasakti Kupang berhasil menghentikan pembangunan kantor QIC yang dilakukan oleh pihak Timor Leste. Menurut komandan Korem, pembangunan tersebut sudah melewati tapal batas Indonesia sejaih 20m sehingga TNI meminta Timor Leste agar segera menghentikan pembangunan tersebut. Sambil menunggu penyelesaian lebih lanjut, TNI bersama dengan tentara Timor Leste berhasil menghentikan konflik antarwarga perbatasan kedua negara dan menciptakan kondisi yang kondusif kembali.

Dari kasus tersebut Indonesia mendapat pembelajaran bahwa kekuatan TNI yang di tempatkan di titik-titik perbatasan ternyata masih kurang dalam menghentikan konflik antar warga perbatasan, sehingga Komandan Korem di Kupang perlu datang sendiri ke lokasi konflik. Oleh karena itu dalam jangka panjang, kekuatan TNI di tiap titik perbatasan perlu ditambah agar di masa yang akan datang konflik-konflik tersebut bisa diantisipasi.

http://rakaraperz.blogspot.co.id/2014/09/kumpulan-contoh-masalah-perbatasan-indonesia.html
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar