TIMOR
LESTE
Indonesia merupakan Negara yang
mempunyai ratusan bahkan ribuan pulau, banyaknya pulau yang dimiliki oleh
Indonesia dapat dijadikan sebagai aset Negara dalam segi pariwisata dimana
dapat mendatangkan banyak wisatawan lokal maupun wisatawan asing untuk dapat
menikmati keindahan alamnya. Karena hal itulah Indonesia sebaiknya menjaga
dengan baik pulau yang dimilikinya agar tak di klaim oleh Negara tetangga,
mengingat pentingnya urusan dalam menjaga aset ini membuat pemerintah
mengeluarkan peraturan perbatasan yang dapat melindungi pulau-pulau Indonesia
sekalipun pulau yang terjauh dari daerah perbatasan luar Indonesia.
Peraturan tentang wilayah perbatasan
tersebut telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945, BAB IXA, pasal
25A tentang wilayah Negara : “Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri
Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan
undang-undang”. Wilayah negara adalah tempat tinggal, tempat hidup dan
sumber kehidupan warga negara yang meliputi daratan lautan dan ruang udara,
dimana suatu negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah negaranya. Bentuk
wilayah negara Indonesia berdasarkan teorinya termasuk devided or separated, yaitu negara yang terpisah oleh wilayah laut
atau sepotong oleh negara lain.
Wilayah daratan adalah bagian dari
wilayah negara dimana rakyat atau penduduk negara itu bermukim secara permanen.
Demikian pula diwilayah daratan itu pula pemerintahan negara melaksanakan dan
mengendalikan segala kegiatan pemerintahannya. Pada umumnya garis batas wilayah
daratan ditetapkan berdasarkan perjanjian-perjanjian garis batas wilayah antara
negara-negara yang berbatasan. Ada pula garis batas wilayah antara dua negara
berupa sungai yang mengalir di perbatasan wilayah negara-negara yang
bersangkutan. Atau dapat pula garis batas wilayah pada sungai tersebut
ditetapkan pada bagian-bagian terdalam dari aliran sungai, yang disebut thalweng.
Termasuk pula dalam ruang lingkup
wilayah daratan tanah dibawah daratan tersebut. Mengenai batas kedalaman dari
tanah dibawah wilayah daratan yang merupakan bagian wilayah negara, tidak atau
belum terdapat pengaturannya dalam hukum international positif. Oleh karena dapatlah
dikatakan, bahwa kedaulatan negara atas tanah dibawah wilayah daratannya sampai
pada kedalaman yang tak terbatas. Kedaulatan negara tersebut meliputi pula
sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Namun dengan adanya peraturan
tentang wilayah perbatasan ini tidak menutup kemungkinan akan tidak terjadinya
konflik antara daerah perbatasan, seperti yang terjadi di daerah perbatasan
Indonesia dengan Timor Leste.
Pada pertengahan Oktober 2013,
konflik antarwarga di perbatasan Indonesia-Timor Leste kembali terjadi. Warga
kedua negara saling serang dengan melempar batu dan kayu di perbatasan
Kabupaten Timor Tengah Utara (Indonesia) dengan Distrik Oecussi (Timor Leste).
Konflik ini menimbulkan ketegangan hubungan antarwarga hingga berhari-hari
berikutnya. Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi, karena pada akhir Juli
2012 konflik serupa juga terjadi di kabupaten yang sama, tetapi melibatkan
warga dari desa yang berbeda. Kasus konflik komunal di perbartasan
Indonesia-Timor Leste menarik, karena jenis konflik tersebut hampir tidak terjadi
di wilayah perbatasan darat Indonesia lainnya. Biasannya masalah yang muncul di
wilayah perbatasan darat tersebut berupa belum disepakatinya demilitasi dan
demarkasi batas serta maraknya aktivitas lintas batas ilegal, dan bisa
dikatakan jarang terjadi kasus kekerasan antarwarga. Oleh karena itu, analisis
terhadap konflik komunal di perbatasan Indonesia-Timor Leste tersebut penting
untuk dilakukan, agar Indonesia dapat membuat langkah antisipasi sehingga
kejadian serupa tidak terjadi di masa depan.
Kronologi
Konflik
Pada
Oktober 2013, Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di
dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah
Utara, jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500m dan juga
menggunakan zona bebas sejauh 50m. padahal berdasarkan nota kesepahaman kedua
negara pada tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak,
baik oleh Indonesia maupun Timor Leste. Selain itu, pembangunan jalan oleh
Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang pilar perbatasan, merusak pintu gudang
genset pos penjagaan perbatasan milik Indonesia, serta merusak Sembilan kuburan
orang-orang tua warga Nelu, Kecampatan Naibenu, Kebupaten Timor Tengah Utara. Pembangunan
jalan baru tersebut kemudian memicu terjadinya konflik antara warga Nelu,
Indonesia dengan warga Leolbatan, Timor Leste pada senin, 14 Oktober 2013.
Mereka saling lempar batu dan kayu. Aksi ini semakin besar karena melibatkan
anggota polisi perbatasan Timor Leste (Cipol) yang turut serta dalam aksi saling
lempar batu dan kayu tersebut. Dari aksi tersebut, enam warga Leolbatan dan
satu anggota Cipol menderita luka parah, sementara dari sisi Indonesia hanya
ada satu warga Nelu yang luka ringan. Setelah terjadinya aksi saling serang
beberapa orang terlihat masih berjaga-jaga di perbatasan masing-masing.
Eskalasi konflik semakin meningkat setelah terjadi insiden penggiringan 19 ekor
sapi milik warga Indonesia yang diduga digiring oleh warga Timor Leste masuk ke
wilayah mereka. Selanjutnya, 10 warga Indonesia di dampingi enam anggota TNI
masuk ke wilayah Timor Leste untuk mencari 19 ekor sapi tersebut. Semenara itu
ratusan warga lainnya dari empat desa di Kecamatan Nailbenu berjaga-jaga di
perbatasan dan siap perang melawan warga Leolbatan, Desa Kosta, Kecamatan Kota,
Distrik Oekussi, Timor Leste.
Konflik tersebut bukan pertama kali
terjadi di perbatasan Indonesia-Timor leste. Satu tahun sebelumnya, konflik
juga terjadi di perbatasan Timor Tengah Utara-Oecussi. Pada 31 Juli 2012, warga
desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT,
terlibat bentrok dengan warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste. Bentrok
ini dipicu oleh pembangunan kantor Pelayanan Bea Cukai, imigrasi, dan Karantina
(CIQ) Timor Leste di zona netral yang masih disengketakan, bahkan dituduh telah
melewati batas dan masuk ke wilayah Indonesia sejauh 20m. tanaman dan pepohonan
di tanah tersebut dibabat habis oleh pihak Timor Leste. Setelah terlibat aksi
saling ejek, warga dari kedua negara kemudian saling lempar batu dan benda
tajam sebelum akhirnya dilerai oleh aparat TNI perbatasan dan tentara Timor
Leste.
Faktor
Penyebab Konflik
Masih
belum tuntasnya delimitasi perbatasan antara kedua negara. Berdasarkan nota
kesepahaman antara kedua negara pada tahun 2005, masih terdapat 4% perbatasan
darat yang masih belum disepakati. Menurut Badan Nasional Pengelola Perbatasan
(BNPP), kedua negara masih mempersengketakan tiga segmen batas yaitu:
1. Segmen
di Noelbesi Citrana, Desa Netemnanu Utara, Amfoang Timur, Kabupaten Kupang,
dengan Distrik Oecussi, Timor Leste, menyangkut areal persawahan sepanjang
Sungai Noelbesi yang status tanahnya masih sebagai zona netral.
2. Segmen
di Bijaelsunan, Oben, di Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Distrik Oecussi,
yaitu pada areal seluas 489 bidang tanah sepanjang 2,6 km atau 142,7 ha. Tanah
tersebut merupakan tanah yang disterilkan agar tidak menimbulkan masalah karena
Indonesia-Timor Leste mengklaim sebagai miliknya.
3. Segmen
di Delomil Memo, Kabupaten Belu yang berbatasan dengan Distrik Bobonaro, yaitu perbedaan
identifikasi terhadap Median Mota Malibaca pada aliran sungai sepanjang 2,2 km
atau pada areal seluas 41,9 ha.
Terjadinya perbedaan interpretasi
mengenai zona netral yang terdapat di perbatasan kedua negara. Dari sudut
pandang Indonesia, pemerintah dan warganya menganggap bahwa zona netral adalah
zona yang masih belum ditetapkan statusnya sebagai milik negara Indonesia atau
Timor Leste, sehingga harus dikosongkan dari segala aktivitas warga. Sementara
dari sudut pandang Timor Leste, zona itu sebenarnya adalah wilayah Timor Leste
yang digunakan oleh PBB sebagai kawasan koordinasi keamanan antara TNI dan PBB,
sebagai tempat fasilitas pembangunan pasar bagi warga perbatasan, dan sebagai
tempat rekonsiliasi antara masyarakat eks Timti dengan masyarakat Pasabe,
Distrik Oecussi. Dengan demikian, setelah PBB meninggalkan Timor Leste,
seharusnya zona netral tersebut tetap menjadi bagian wilayah kedaulatan Timor
Leste.
Terkait dengan aspek sosial budaya,
yaitu masih terdapat sentiment negative antarwarga Indonesia dengan warga Timor
Leste. Sebenarnya, masyarakat Timor Tengah Utara dan Oecussi di perbatasan
berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu sama-sama orang Timor, baik itu suku
tetun, Marae, Kemak dan Dawan. Hubungan kekerabatan pun sudah lama terjalin,
apalagi Timor Leste pernah menjadi bagian dari Indonesia sejak tahun 1975
hingga 1999. Namun, pasca pemisahan Timor Timur sebagai hasil referendum,
sentiment negative tersebut menguat. Di satu sisi, warga Timor Leste, terutama
yang pada referendum menjadi bagian kelompok prokemerdekaan, melihat Indonesia
sebagai negara yang telah menjajah mereka selama hampir 25 tahun. Di sisi lain,
warga Indonesia melihat warga Timor Leste sebagai orang-orang yang tidak
berterima kasih, apalagi banyak anggota kelompok prointegrasi yang memilih
mengungsi ke wilayah Indonesia pasca referendum. Sentiment negative ini semakin
menguat ketika masyarakat kedua negara sama-sama dalam kondisi miskin dan
mereka terlibat perebutan sumberdaya seperti lahan, kebun dan sapi.
Upaya
Penyelesaian
Indonesia sudah melakukan berbagai
tindakan untuk menyelesaikan permasalahan ini, baik tindakan yang bersifat
jengka pendek maupun tindakan yang bersifat jangka panjang. Pada penyelesaian
yang bersifat jangka pendek, untuk konflik yang terjadi tahun 2012, aparat TNI
dari 161 Wirasakti Kupang berhasil menghentikan pembangunan kantor QIC yang
dilakukan oleh pihak Timor Leste. Menurut komandan Korem, pembangunan tersebut
sudah melewati tapal batas Indonesia sejaih 20m sehingga TNI meminta Timor
Leste agar segera menghentikan pembangunan tersebut. Sambil menunggu
penyelesaian lebih lanjut, TNI bersama dengan tentara Timor Leste berhasil
menghentikan konflik antarwarga perbatasan kedua negara dan menciptakan kondisi
yang kondusif kembali.
Dari kasus tersebut Indonesia mendapat
pembelajaran bahwa kekuatan TNI yang di tempatkan di titik-titik perbatasan
ternyata masih kurang dalam menghentikan konflik antar warga perbatasan,
sehingga Komandan Korem di Kupang perlu datang sendiri ke lokasi konflik. Oleh
karena itu dalam jangka panjang, kekuatan TNI di tiap titik perbatasan perlu
ditambah agar di masa yang akan datang konflik-konflik tersebut bisa
diantisipasi.
http://rakaraperz.blogspot.co.id/2014/09/kumpulan-contoh-masalah-perbatasan-indonesia.html